BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Akidah Ahlusunnah Waljama’ah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah (Bahasa Arab:أهل السنة والجماعة) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (Bahasa Arab: أهل
السنة) atau Sunni. Ahlussunnah adalah mereka yang
sentiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al-Quran dan hadis yang sahih dengan
pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim
sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syiah. Takrifannya:
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh
dengannya dalam semua perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan
juga para sahabatnya. Oleh kerana itu Ahlus
Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti
mereka hingga ke hari kiamat.
Dengan demikian, istilah Aswaja dimaknai
sebagai suatu konsturksi pemikiran (pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan
yang didasarkan pada tradisi (sunnah) Rasululloh SAW, para sahabatnya dan para
ulama mazhab, sekalipun yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan kata
lain, yang di naksud dengan Aswaja tidak selalu identik dengan sesuatu
mainstream aliran pemahaman tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Oleh karena
itu, penyebutan beberapa aliran dalam tulisan ini, tidak secara otomatis
menunjukan paham-paham yang paling benar atau paling identik dengan Aswaja.
Justru di sisni perlu ditegaskan, bahwa yang terpenting dari pemikiran
keagamaan Aswaja adalah konsistensinya dengan tradisi keagamaan yang
dipraktekan Rasulululloh dan para sahabatnya. Sementara dalam konteks taqlid,
di sisni lebih bersifat instrumental. Artinya, signifikasi taqlid, baik dari
sisi metodologis (madzhab manhaji) maupun produk pemikiran-pemikirannya
(madzhab qauli, nataij al-ijtihad) lebih dimaksudkan untuk membantu dalam
memahami Al-Qur’an dan sunnah, ketimbang diletakan sebagai satu-satunya sumber.
2.2. Aswaja dalam
Konteks Historis
Kaum muslimin
pada masa Rasullullah SAW adalah umat yang satu, tidak terkotak-kotak dalam
aneka kecenderungan, baik kabilah, paham keagamaan, ataupun visi sosial
politik. Segala masalah yang muncul segera teratasi dengan turunnya wahyu dan
disertai dengan pengarahan dari Rasullulah SAW. Walaupun tradisi kaum muslimin
yang cukup dinamis dan terkendali pada waktu itu. Konon Rasulullah SAW sering
memfrediksi “kondisi nyaman” ini akan segera pudar sepeninggal beliau. Prediksi
Rasullulah SAW itu terungkap dalam beberapa hadits, yang biasanya diawali
dengan kata-kata “saya’ti ala ummati Zaman” (umatku akan sampai pada suatu
masa), “sataf tariqu ummati” (umatku akan terpecah) dan seterusnya.
Berdasarkan
hadits “model Prediksi” itulah istilah Ahlusunnah Wal Jamaah ditemukan.
Rasulullah SAW.bersabda :”Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu
golongan yang selamat dan yang lain binasa”. Ditanyakan :Siapakah golongan yang
selamat itu ? Rasulullah menjawab Ahlussunnah Wal Jamaah. Ditanyakan: apa
Ahlussunnah Wal Jamaah itu ?.
Rasulullah menjawab: “Apa yang aku dan sahabat sahabtku lakukan saat ini”. Hadits “iftiraqul ummah” diatas seperti yang
dikatakan Abdul Qahir, mempunyai banyak isnad dan banyak sahabat yang
meriwayatkannya. Namun demikian, ulama berbeda pendapat tentang keshahihan
hadits tersebut.
Yang pertama:
berpendapat dhaif dengan hujjah tak satu pun dari sekian isnad yang tidak
mengandung perawi dhaif . Yang kedua: berpendapat muhtajju bihi dengan alasan:
meskipun tidak satu pun isnad yang tidak mengandung perawi dhaif tapi banyaknya
isnad dan sahabat yang meriwayatkan, memperkuat dugaan adanya hadits
tersebut.(lihat :Al-Baghdady, Al-farqu Bainal firaq,Hal 7 catatan kaki). Jadi, jika hadits itu shahih Aswaja
sebagai informasi yang akan muncul kemudian, sudah dikenal sejak masa
Rasulullah SAW,.tetapi Aswaja sebagai realitas komunitas muslim belum ada pada
masa itu. Atau dengan kata lain kaum muslimin pada masa Rasulullah itulah
Aswaja; berdasarkan hadits tadi “ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi” bahwa
aswaja adalah sikap dan amalan yang kulakukan sekarang bersama
sahabat-sahabatku.
Jadi amalan (Sunnah) Rasul yang bersama para
sahabat itulah yang disebut Aswaja. Yaitu ketika kaum muslimin tidak
terkotak-kotak dalam kecenderungan misi politik. Ternyata setelah beliau wafat,
para sahabat sudah terkotak dalam kecenderungan politik tertentu. Dengan
mengikuti logika “asap dan api”, isu “iftiragul ummah” dari prediksi Rasul
menjadi kenyataan dan adanya satu firqah (golongan) yang selamat, sudah dikenal
pada masa sahabat. Akan tetapi klaim sebagai Aswaja belum ada pada masa
sahabat. Dengan demikian pada masa khulafaurrasyidin pun masih dipertanyakan
apakah masuk dalam kriteria ma ana ‘alaihi al-yauma wa ashhabi ?
Setelah beliau
wafat, kecenderungan politik dengan segala frediksinya mulai tampak ke
permukaan, antara golongan Anshar, Muhajirin, dan Ahlul Bait. Tetapi .frediksi
itu segera teratasi, setelah mayoritas umat sepakat membaiat Abu Bakar,
kemudian Umar, Usman, dan Ali sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin
(khalifah-Khulafa). Tetapi itu bukan berarti frediksi kecenderungan politik
pudar pada masa yang dikenal dengan era Khulafa al-.Rasyidin itu. Frediksi itu
terus berkembang dan menunggu waktu yang kondusif untuk muncul.
Usman yang
tewas secara tragis dan naiknya Ali sebagai khalifah dianggap oleh para
sejarawan sebagai titik kulminasi munculnya friksi politik yang terpendam pada
masa Abu Bakar dan Umar. Kejadian ini dikenal dengan Fitnah Kubra yang pertama.
Dan dari sinilah visi politik kaum muslimin sulit dipadamkan bahkan mengarah
pada konfrontasi yang terus menerus.
Berangkat dari
konfrontasi fitnah kubra I yang segera diikuti perang shiffin sebagai fitnah
kubra II, visi dan friksi politik kaum muslimin sudah sulit untuk disatukan
kembali. Semua golongan yakin akan “kebenaran” visi politiknya. Atas dasar
keyakinan itulah semua golongan membangun tradisi intelektual dari semua lini
disiplin ilmu keislaman yang berkembang. Masing- masing golongan sibuk
meligitiasi Qur’an, hadits dan atsar para sahabat sesuai dengan kecenderungan
politik mereka masing-masing.
2.3. Siapakah Ahlussunnah Wal
Jamaah ?
Hadits prediksi
Rasul tentang iftiraqul ummah tidak menunjuk dengan sharih orang-orang yang
termasuk dalam golongan Aswaja. Ia hanya memberikan petunjuk secara global
bahwa Aswaja adalah orang-orang yang mengikuti “jejak Nabi dan Sahabat” bisa
berbeda antara satu orang dengan yang lain atau satu golongan dengan golongan
lain.
Secara
etimologis Ahlussunnah Wal Jamaah terdiri dari tiga kata, yaitu: ahl; keluarga,
kelompok, golongan, dan komunitas, al-sunnah; tradisi, jalan, kebiasaan dan
perbuatan sedang al-jamaah; kebersamaan, kolektifitas, komunitas, mayoritas dan
lain-lain. Tiga rangkaian kata diatas, kemudian berkembang menjadi istilah bagi
sebuah komunitas muslim yang secara konsisten bepegang teguh kepada tradisi
(sunnah) Nabi Muhammad Saw dan sebagai landasan normatif setelah Al-Qur.’an,
dan selalu mengikuti alur pemikiran dan sikap mayoritas kaum muslimin. Dengan
kata lain Ahlussunnah adalah golongan mayoritas. Bila bani Umayyah mengklaim
sebagai kelompok mayoritas maka Syiah pun membalasnya dengan klaim yang sama.
Bahkan mereka mengatakan bahwa bani Umayyah adalah kelompok separatis. Jadi
pendefenisian Aswaja oleh bani Umayyah tidak mereduksi globalitas konsep Aswaja
dalam hadits. Aswaja masih saja tidak mempunyai ciri dan karakteristik tertentu
yang bisa menunjuk pada kelompok tertentu.
Konsepsi
Aswaja baru mendapatkan karakteristik politis dan theologis ketika para
pendukung Asy’ari memproklamasi kan diri sebagai Aswaja. Meskipun Asy’ari
dikenal sebagai theolog,wa bittalii mazhab yang didirikan adalah mazhab
theologi, akan tetapi perbedaan umat Islam dalam aqidah pada waktu itu interen
dengan perbedaan politis. Sehingga mazhab theologi Asya’ri juga mencakup
pendapat beliau tentang khilafah . Al-Baqdhadi
(wafat29 H) dalam alfarqu bainal firaq, mengembangkan cakupan Aswaja dan Beliau
tidak memasukkan merumuskan konsepnya dengan karakteristik yang lebih jelas.
Menurutnya ada lima belas pokok aqidah yang harus diketahui oang mukallaf. Dan
orang yang mempunyai pendapat berbeda dengan 15 aqidah tersebut maka orang itu
tersesat.Beliau juga membagi kelas kelas Aswaja menjadi delapan yaitu:
mutakallimin, fuqaha, muhaditsin,mufassirin,ulamaahl lughah, mutashawwifin,
orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang mengikuti pendapat ulama Aswaja.
Beliau tidak
memasukkan Khawarij, Qadariyyah, Syi’ah dan lain-lain dalam kelompok Aswaja
karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang mencela, mengfasikkan para
sahabat bahkan mengkafirkannya. Padahal Aswaja adalah orang yang mengikuti
jejak sahabat. Ada beberapa catatan
yang perlu disampaikan bahwa:
1. Dalam menafsirkan Aswaja, Al-Bagdady tidak
menyebut-nyebut dalil naqli. Penafsirannya hanya didukung pemahaman aqal
terhadap lafadz ashaby,
2. Al-Bagdady memasukan kelompok mutasawwifin
dalam kelompok Aswaja, padahal fuqaha menentang keras aliran tersebut,
3. Kelima belas kelompok yang ditetapkan
Al-Bagdady adalah masalah-masalah yang sedang diperdebatkan.
Jadi dari pembahasan
diatas bisa disimpulkan bahwa perumusan Aswaja yang kemudian dibakukan adalah
pengintian masalah-masalah aqidah yang sedang diperdebatkan dan penetapan salah satu pendapat yang dianggap sesuai
dengan pendapat mayoritas sahabat.
2.4. Agenda Aswaja
di Era Modern
Rumusan NU
diatas, walaupun mengandung beberapa kelemahan, harus dipahami sebagai upaya
dini untuk merespons perkembangan pemikiran yang tak akan keluar dari bingkai
pemaduan secara seimbang antara landasan normatif Qur’an dan Hadits, dan
pengembangan penalaran. Rumusan ini juga harus dipahami sebagai metode untuk
menyeleksi budaya lokal dan budaya asing yang masuk ke dunia Islam yang selalu
berkembang.
Karena rumusan itu kita anggap
mengikuti metode berpikir pada tokoh, maka harus ada terobosan untuk merenovasi
dalam berbagai bidang pemikiran, dengan tujuan kemaslahatan kaum muslimin
secara menyeluruh dan melindungi hak-hak asasi manusia, sebagai realisasi Islam
yang membawa rahmat bagi alam semesta.
Hal yang paling
mendesak untuk dirumuskan pada era modern ini adalah sebagai berikut, pertama,
hubungan Islam dan negara yang sudah terkotak dalam nation state. Kedua,
hubungan Syari’ah Islam dengan hukum publik baik nasional maupun internasional.
Ketiga, konsep pemberdayaan rakyat menuju masyarakat yang musyawarah dan
terbebas dari belenggu penghambaan. Keempat, konsep keadilan ekonomi, politik
dan hukum.
Ketika
perdebatan aqidah makin marak dengan munculnya aliran Qadariyah dan Jabariyah,
lahirlah al-Asy’ari seorang teolog yang ingin mengembalikan pemahaman aqidah
seperti pemahaman kaum salaf dengan memoderasi eksterm aqal dan ekstrem naql.
Oleh pengikut dan pendukung nya, pendapat-pendapat beliau diklaim sebagai
Aswaja. Awalnya pengertian Aswaja hanya sebatas pada kelompok aqidah, namun kemudian
berkembang dan mencakup kelompok dalam mazhab fiqih. Konsep Aswaja baru mempunyai ciri dan
karakteristik tertentu setelah al-Baghdady merumuskan beberapa aqidah yang
menjadi ciri khas Aswaja. Akan tetapi perumusan Al- Baghdady lebih banyak
didasarkan pada pelacakan terhadap kelompok mayoritas pada setiap era. Perumusan berikutnya dilakukan NU
yang intinya merupakan penyempitan terhadap konsep Aswaja Al-Baghdady. Hal itu
terjadi karena dasar keberdirian NU dari satu sisi merupakan reaksi terhadap
gerakan pembaruan dan sisi lain merupakan pengakuan terhadap praktek keagamaan
yang berlaku saat itu. Oleh karena itu Aswaja model NU tidak bersifat mutlak
dan universal. Dan bisa juga Aswaja NU direvisi mengingat perkembangan
keislaman yang terjadi. Bahkan boleh jadi konsep Aswaja ditiadakan karena akan
mempersempit cakupan Aswaja itu sendiri. Wal- Lâhu al musta’ân
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh
dengannya dalam semua perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan
juga para sahabatnya. Oleh kerana itu Ahlus
Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang yang mengikuti
mereka hingga ke hari kiamat.
3.2. Saran
Penulis menyampaikan sedikit saran dan
Komentarnya bahwasanya masih banyak umat islam yang belum paham benar tentang
Akidah Ahlusunnah Waljama’ah padahal apa yang mereka lakukan adalah amaliyah
Ahlisunnah Waljama’ah, maka langkah apa yang harus di jalankan oleh kita
bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://satuislam.wordpress.com/tentang-kami/
Judul Buku: Ahlussunnah Wal Jama’ah;
Telaah Historis dan Kontekstual
Buku ISLAM Ahlusunnah Waljama’ah di
Indonesia, sejarah, pemikiran, dan dinamika Nahdlatul Ulama, diterbitkan oleh
Pustaka Ma’arif NU
Posting Komentar untuk "Makalah Akidah Ahlusunnah Waljama’ah"