Nama
: Heri Heryadi
NIM
: 2012.1.010
Semester
: 3 (tiga)
Mata
Kuliah : Akuntansi Syariah 1
Dosen
: Ali Nurdin Anwar
Sanusi,Lc., M.E.I
PEMIKIRAN
EKONOMI IBNU TAIMIYAH (1263 M/661 H – 1328 M/728 H)
A. Fungsi Uang dan
Perdagangan Uang
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang
adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar
pertukaran barang. Hal
itu sebagaimana yang beliau ungkapan sebagai berikut:
Atsman (harga atau
yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang(dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang )mi’yar al-amwal( yang
dengannya jumlah nilai barang-barang )maqadir al-amwal( dapat diketahui, dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk
diri mereka sendiri.
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut )…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk
diri mereka sendiri(, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali,
menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan
keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang
dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat
sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan
transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas, {1}uang tidak mempunyai
kepuasan intrinsik yang
dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung.Uang harus
digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi
mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai. Oleh
karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam, {2} komoditas mempunyai
kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan
nominal Rp100.000,00 yang kertasnya kumal
nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil
baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama, dan
{3}komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya
kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom.Sementara uang
tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara
tunai maupun cek. Penjual
tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang
semata-mata
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi, sehingga
yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu
tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka
pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud(, dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling
mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak
lainnya
berjanji membayar
di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan
uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga
benar-benar
uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan
kesempatan. Dalam
pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. melarang
jenis transaksi seperti ini.
B. Pencetakan Uang
sebagai Alat Tukar Resmi
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada
saat itu harga-harga
barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena
desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil,
maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari
tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi
besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil.Inilah
yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan
Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai
nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value(. Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai
mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata
uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut :
Penguasa seharusnya
mencetak fulus) mata
uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas
transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa
beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat,
total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku.
Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai
dengan nilai yang adil (proporsional(atas
transaksi masyarakat( dimaksudkan
untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata
uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang
pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan
menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang
termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga
nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama
tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui
teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui
persamaan : MV = PT.
Dimana M
(Money)adalah jumlah uang beredar, V (Velocity)adalahkecepatan uang beredar,
P(Price(adalah
tingkat harga produk dan T(Trade)adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila
pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa
memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M
akan meningkat. Sementara
bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan
sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain,
konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami
kenaikan(tidak stabil(, yang berarti
terjadi inflasi yang meningkat.
C. Implikasi
Penerapan Lebih dari Satu Standar Mata Uang
Setelah sadar akan kesalahan yang dilakukannya, Sultan
Kitbugha menetapkan bahwa
nilai Fulus ditentukan
berdasarkan beratnya, dan bukan berdasarkan nilai nominalnya. Namun pencetakan Fulus
dalam jumlah besar masih dilakukan oleh Sultan Dzahir Barquq dengan mengimpor
tembaga dari negara-negara
Eropa. Untuk
mendapatkan tembaga saat itu memang sangat mudah dan murah. Di tengah penggunaan
Fulus secara luas pada masyarakat, pada saat yang bersamaan penggunaan Dirham
semakin sedikit dalam kegiatan transaksi. Dirham semakin menghilang dari
peredaran dan inflasi semakin melambung yang ditandai dengan semakin
meningkatnya harga-harga
produk. Dampak
pemberlakuan Fulus sebagai mata uang resmi adalah terjadinya kelaparan sebagai
akibat inflasi keuangan yang mendorong naiknya harga. Persoalan kelaparan ini
diungkapkan Al-Maqrizi
dalam kitabnya Ightsatul Ummah bi Kayfi Al-Ghummah sebagai berikut :
Ketahuilah, semoga
Allah memberi taufiq kepadamu untuk mendengarkan kebenaran dan memberi ilham
kepadamu nasehat makhluk, bahwa sudah jelas seperti yang telah lewat, rusaknya
perkara adalah karena perncanaan yang buruk bukan karena naiknya harga-harga. Jikalau
mereka yang dibebankan oleh Allah untuk mengatur perkara hamba mendapat taufiq
lalu mengembalikan interaksi ekonomi kepada bentuk sebelumnya menggunakan emas
saja dan mengembalikan harga-harga barang dan nilai pembayaran kepada dinar atau
kepada apa yang terjadi setelah itu, yakni transaksi menggunakan perak yang
dicetak, maka pada keadaan yang demikianlah pertolongan kepada umat, perbaikan
persoalan-persoalan,
dan kesadaran terhadap kerusakan yang sudah mencapai tahap kehancuran ini. Lebih
jelas dari itu bahwa mata uang apabila dikembalikan pada bentuknya yang semula,
dan orang yang mendapatkan uang dari pajak bumi, atau sewa bangunan, atau
pegawai pemerintahan, atau pembayaran jasa, dia mendapatkannya dalam bentuk emas
atau perak sesuai dengan apa dilihat oleh mereka yang mengurus persoalan public. Pada
saat sekarang dengan beragamnya kondisi apabila diberlakukan emas dan perak,
tentunya semua transaksi tidak ditemukan lagi penipuan sama sekali, karena
semua harga yang berlaku diukur berdasarkan emas dan perak. Namun ada beberapa sebab
yang menjadi harga menjdi naik, yaitu, pertama, rusknya cara pandang orang yang
ditugaskan untuk memikirkan hal itu dan kebodohannya dalam mengatur persoalan. Ini
penyebab utama kebanyakannya. Kedua, musibah yang menimpa sesuatu sehingga
persediaan menjadi sedikit seperti yang terjadi pada daging sapi yang tertimpa
kematian missal pada tahun 808, dan yang terjadi pada gula karena kurangnya
tebu dan perasannya pada tahun 807 dan 808. dan ini hanya penyebab
kecil dibandingkan sebab pertama.
Selanjutnya, Dirham juga mengalami perubahan komposisi
kandungan pada zaman pemerintahan Nasir. Satu Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Pada
saat pemerintahan di bawah cucu Nasir, yaitu Nasir Hasan (1358 M (pemerintah menetapkan
keputusan bahwa Fulus yang sedang beredar di masyarakat dinyatakan tidak
berlaku lagi, dan pemerintah mengeluarkan mata uang baru sebagai penggantinya. Merespon
berbagai kebijakan uang yang dilakukan oleh penguasa pada saat itu, Ibnu
Taimiyah menyatakan :
Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu
dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan
orang-orang
kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya
sebuah barang. Ia
berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula
mereka miliki.
Beliau menyarankan agar penguasa tidak membatalkan masa
berlaku suatu mata uang yang sedang berada di tangan masyarakat.Ketika pemerintah menyatakan
tidak berlaku lagi atas mata yang dipegang masyarakat, yang berarti uang
diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak mempunyai nilai yang sama
dibandingkan dengan ketika berfungsi sebagai uang, maka masyarakat sangat
dirugikan dalam hal ini. Daya beli masyarakat secara langsung akan
terpangkas drastis karena terjadi penurunan nilai asetnya dengan adanya
kebijakan tersebut.
Menurutnya, penciptaan mata uang dengan nilai nominal yang
lebih besar daripada nilai intrinsiknya, dan kemudian menggunakan uang tersebut
untuk membeli emas, perak atau benda berharga lainnya dari masyarakat akan
menyebabkan terjadinya penurunan nilai mata uang serta akan menyebabkan inflasi
serta pemalsuan uang. Beliau menganggap bahwa perdagangan mata uang
sebagai bentuk kezaliman terhadap masyarakat dan bertentangan dengan
kepentingan umum.Dalam
masalah ini Ibnu Taimiyah mengungkapkan :
Lebih daripada itu,
apabila nilai intrinsik mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah
sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan mata uang yang buruk
dan menukarkanya dengan mata uang yang baik, dan kemudian mereka akan
membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah
tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai
barang-barang
masyarakat akan menjadi hancur.
Ibnu Taimiyah menyarankan kepada penguasa agar tidak
mempelopori bisnis mata uang dengan cara membeli tembaga serta mencetaknya
menjadi uang, dengan kata lain mengambil untung dari hasil mencetak uang
(seignorage( Saran beliau cukup beralasan, karena
setiap pemerintah butuh uang kemudian dengan seenaknya mencetak uang, apalagi
nilai nominal mata uang tersebut lebih kecil daripada nilai intrinsiknya, maka
kondisi tersebut akan memicu inflasi yang tinggi. Pada saat inflasi tinggi,
ketika jumlah uang beredar berlebihan, sementara pendapatan masyarakat nominal
tidak bertambah, maka pendapatan riil masyarakat akan menurun, yang berarti
masyarakat menjadi semakin miskin. Sungguh memprihatinkan, dan tidak ada artinya
ketika pendapatan penguasa/pemerintah meningkat hasil menikmati keuntungan )selisih
antara nilai nominal dan nilai intrinsik mata uang Fulus(, namun di sisi lain pendapatan riil masyarakat secara umum
semakin berkurang. Penguasa
juga harus mencetak uang sesuai dengan nilai riilnya tanpa bertujuan untuk
mencari keuntungan apapun agar kesejahteraan masyarakat tetap terjamin.
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa
uang dengan kualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari
peredaran. Hal
itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan
nilai kandungan logam mulia yang berbeda.Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1
Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham
lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena
akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya,
makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi.Akibatnya,
peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang
menghilang. Sementara
Fulus beredar secara luas.Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya
kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada
waktu itu tidak stabil.
Ungkapan Al-Maqrizi
berikut ini akan memperjelas kondisi tersebut :
Ketika pada masa
Mahmud bin Ali, penanggung jawab raja Al-Dzahir Barquq—semoga Allah
merahmatinya—memperbanyak uang tembaga. Pencetakan uang tembaga terus
berlanjut beberapa tahun sedangkan orang asing membawa dirham-dirham yang ada di Mesir ke
negeri mereka, dan penduduk negeri meleburnya untuk dimanfaatkan sehingga
berkurang dan bahkan hamper punah )habis(dan uang tembaga beredar secara
luas sehingga seluruh barang jualan dihitung dengannya.
Dia (Al-Dzahir
Barquq( membangun gedung percetakan uang
tembaga di Alexandria sehingga uang tembaga semakin banyak di tangan orang-orang dan
beredar luas karena itu menjadi mata uang dominan di negeri ini. Dirham semakin berkurang
karena dua sebab: pertama,
sama sekali tidak dicetak lagi. Kedua, orang-orang melebur dirham untuk dijadikan
perhiasan.
Fenomena yang diamati, dianalisis yang kemudian dinyatakan
secara tertulis oleh Ibnu Taimiyah di atas dan disempurnakan oleh Al-Maqrizi,
ternyata sekitar 1.000 tahun kemudian dengan situasi dan
kondisi sedikit berbeda fenomena sejenis terjadi di Amerika (1782-1834) Pada waktu itu Amerika
mempertahankan kurs mata uang emas dan perak sebesar 1 : 15, meskipun nilai mata uang emas di negara-negara Eropa menguat berkisar
pada kurs 1 : 15,5 hingga 1 : 16,6. Akibatnya,
mata uang emas Amerika mengalir ke Eropa, dan sebaliknya mata uang perak
membanjiri Amerika. Fenomena
itulah yang diamati oleh Thomas Gresham (1857M(dan dia nyatakan dengan
bahasanya bahwa, “uang dengan kualitas rendah menendang ke luar uang
berkualitas baik”.Pernyataan
itu sangat dimungkinkan terinspirasi pemikiran Ibnu Taimiyah dan Al-Maqrizi
mengingat karya kedua pemikir Islam tersebut hingga kini masih dapat dibaca. Namun
pernyataan itulah yang kelak di kemudian hari dikenal sebagai Hukum Gresham
yang sangat terkenal dan sering dikutip hampir semua buku teks ekonomi
konvensional, dan tanpa pernah menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah jauh sebelumnya
pernah menyatakan hal serupa.
Lebih jauh beliau
menyarankan agar gaji para pegawai hendaknya dibayar dari perbendaharaan negara
(baitul mal(Saran
beliau tersebut setidaknya dapat dijelaskan sebagai berikut, pembayaran gaji
yang diambilkan dari hasil pencetakan mata uang akan menimbulkan kenaikan
penawaran uang, sedangkan pembayaran yang berasal dari perbendaharaan negara
berarti menggunakan uang yang telah ada dalam peredaran, yang berarti juga
dapat menambah harta perbendaharaan negara melalui kharaj dan sumber pendapatan
negara lainnya.
Pemikiran
Ekonomi
Pemikiran Ibnu Taimiyah banya diambil dari berbagai karya tulisnya, antara lain
Majmu’Fatwa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-Syar’iyyah fil Islhlah ar-Ra’I wa
ar-Ra’iyah dsan al-Hisbah fi al-Islam.
PEMIKIRAN EKONOMI PLATO DAN ARISTOTELES
A.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Plato
Filosof Yunani kuno Plato
tak pelak lagi cikal bakal filosof politik Barat dan
sekaligus dedengkot pemikiran etika dan metafisika mereka. Pendapat-pendapatnya
di bidang ini sudah terbaca luas lebih dari 2300 tahun. Tak pelak lagi, Plato
berkedudukan bagai bapak moyangnya pemikir Barat.
Plato dilahirkan dari
kalangan famili Athena kenamaan sekitar tahun 427 SM. Di masa remaja dia
berkenalan dengan filosof kesohor Socrates yang jadi guru sekaligus sahabatnya.
Tahun 399 SM, tatkala Socrates berumur tujuh puluh tahun, dia diseret ke pengadilan
dengan tuduhan tak berdasar berbuat brengsek dan merusak akhlak angkatan muda
Athena. Socrates dikutuk, dihukum mati. Pelaksanaan hukum mati
Socrates –yang disebut Plato “orang terbijaksana, terjujur,
terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal”– membikin Plato benci
kepada pemerintahan demokratis.
Tak lama sesudah Socrates
mati, Plato pergi meninggalkan Athena dan selama
sepuluh-duabelas tahun mengembara ke mana kaki membawa.
Sekitar tahun 387 SM
dia kembali ke Athena, mendirikan perguruan di sana, sebuah akademi yang
berjalan lebih dari 900 tahun. Plato menghabiskan sisa umurnya
yang empat puluh tahun di Athena, mengajar dan menulis ihwal filsafat. Muridnya
yang masyhur, Aristoteles, yang jadi murid akademi di umur tujuh belas tahun
sedangkan Plato waktu itu sudah menginjak umur enam puluh tahun. Plato tutup
mata pada usia tujuh puluh.
Plato
percaya bahwa bagi semua orang, entah dia lelaki
atau perempuan, mesti disediakan kesempatan memperlihatkan kebolehannya selaku
anggota “guardian”. Plato merupakan filosof utama yang
pertama, dan dalam jangka waktu lama nyatanya memang cuma dia, yang mengusulkan
persamaan kesempatan tanpa memandang kelamin. Untuk membuktikan persamaan
pemberian kesempatannya.
Gagasan Plato
tentang ekonomi timbul secara tidak sengaja dari pemikirannya tentang keadilan
dalam sebuah negara ideal.
Menurut Plato dalam
sebuah negara ideal kemajuan tergantung pada pembagian kerja yang timbul secara
alamiah dalam masyarakat, Plato juga membedakan 3 jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh manusia yaitu, pekerjaan sebagai tentara, pekerjaan sebagai
pengatur, dan pekerjaan sebagai pekerja.
Plato juga
mengatakan bahwa lapisan masyarakat yang berhak untuk mengejar laba dan
mengumpulkan harta adalah kelompok pekerja. Sedangkan kelompok pengatur dan
tentara mereka bekerja bukan untuk mengumpulkan harta dan kekayaan, tetapi
hanya mengabdi dan memikirkan pekerjaan
mereka. Dengan pembagian kerja dan pembatasan waktu tersebut maka hawa nafsu
manusia untuk memperoleh barang dan harta yang sebesar-besarnya dapat
dikendalikan, sehingga diharapkan akan tercipta suatu masyarakat yang adil dan
makmur.
Hal lain yang
dikemukakan Plato adalah tentang keharusan penganekaragaman pekerjaan dalam
masyarakat, sehingga mereka tidak perlu membuat segala sesuatu untuk dengan
sendirinya karena memang tidak mungkin
memenuhi kebutuhannya sendiri.
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Aristoteles
Aristoteles dilahirkan
di Stagyra di Thrace, kurang lebih tahun 384 SM. Ayahnya mewarisi kedudukan
sebagai dokter pribadi raja Makedonia. Pada umur delapan belas tahunan
aristoteles belajar dari plato; ia belajar di akademi hampir
dua puluh tahun sampai wafatnya plato tahun 348-7 SM. Dan terkenal sebagai
“Bapak Logika”, ( logika, fisika, metafisika, dan etika ).
Gagasan
antara Plato dan Aristoteles terhadap perbudakan, Aristoteteles bukanlah
pendukung kesetaraan yang mana ketika Aristoteles mengembangkan ajaran filsafat
tentang etika. Etika
Aristoteles
pada dasarnya sama dengan etika
Socrates dan Plato.
Bila
dibandingkan Plato membela anggapan,
bahwa mereka yang ditugaskan untuk memimpin negara harus menguasai ilmu
hitung. Sedangkan Aristoteles yang lebih cenderung kearah pandangan filsafat
sejarah daripada masalah-masalah kemasyarakatan. Agaknya disini sudah mulai
terlihat perbedaan faham antara Ekonomi literal dan Ekonomi
kuantitatif , misalnya pada Quesney dapat kita melihat suatu kecenderungan yang jelas kearah pandangan
kuantitatif, sedangkan pada Adam Smith terlihat kecenderungan kearah pandangan
filsafat sejarah.
Kini
analisa kuantitatif makin lama makin mencapai kemenangan. Dalam bukunya
“Negara”, Aristoteles membedakan ; oikonomie (yang mempelajari cara-cara mengatur rumah tangga) dan Chrematistie
(yang mempelajari aturan-aturan pertukaran). Dan sebenarnya dapat pula dianggap
sebagai pelopor Ekonomi Teoritika.
Menurut
Aristoteles, kepala keluarga berusaha agar terdapat pemenuhan kebutuhan
sebaik-baiknya dalam lingkungan rumah tangganya. Bilamana Oikos (rumah
tangga) yang satu, mempunyai benda tertentu dalam jumlah lebih, maka adalah
logis bahwa benda tersebut ditukar dengan benda-benda surplus oikus lainnya.
Begitu pula
Aristoteles mengadakan perbedaan antara nilai pakai dan nilai tukar dengan
manyatakan bahwa sepasang sepatu dapat digunakan (dipakai), tetapi dapat pula
digunakan untuk ditukar. Anggapan selanjutnya adalah bahwa baik uang maupun
pertukaran yang dimungkinkan oleh uang adalah esensial bagi kehidupan
masyarakat. (kita dapat membayangkan sendiri kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh suatu barter ekonomi).
Aristoteles
menguraikan uang sebagai benda yang semula diidamkan oleh setiap orang, karena
kemungkinan penggunaan-penggunaan yang langsung, dan dengan diterima sebagai
suatu alat pertukauran, disebabkan karena semua orang mempunyai kepastian bahwa
uag tersebut dapat dialihkan pihak lain, akan tetapi ia menekankan bahwa usaha
untuk mencapai uang janganlah dijadikan tujuan.
Seperti halnya
dalam hubungan membeli dan menjual, bahkan secara lebih spesifik dalam hal
meminjamkan uang dengan mendapat bunga modal. Pendangan modern kini adalah
bahwa ilmu ekonomi, merupakan sebuah ilmu pengetahuan otonom.
Ilmu pengetahuan
sosial kni bersifat faktual secara teknis. Sedangkan konsepsi kuno, pada garis
besarnya bersifat filosofis, artinya diorientasikan kearah keseluruhan, dan ditujukan
kearah usaha untuk menentukan suatu metode guna mengorganisasi masyarakat
dengan bijaksana.
Posting Komentar untuk "MAKALAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM DAN BARAT"