BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Memposisikan
Akal Sebagai Hakim
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu: Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan dalil
akal. Ketika diteliti dengan sebenarnya, maka dalil hukum hanya satu yaitu
firman Allah SWT, karena sabda Rasulullah SAW, bukan merupakan hukum dan tidak
menetapkannya. Ia berstatus sebagai pemberi kabar firman-firman Allah. Ijma’
(Konsensus) ulama juga tidak bisa disebut sebagai dalil hukum dalam arti yang
sebenarnya, sebab ia menunjukkan sabda Rasul. Akal juga demikian. Ia hanya berstatus
penafian hukum ketika firman Allah dan sabda rasul tidak ditemukan.
Ketika melihat hukum-hukum yang ditetapkan kepada manusia, sebenarnya
hukum-hukum tersebut tidak akan dapat diketahui, kecuali dengan sabda
Rasulullah, karena kita tidak bisa mendengar firman Allah secara langsung atau
melalui perkataan malaikat Jibril. Jadi, jika yang menjadi acuan adalah proses
tersiarnya hukum, maka dalil hukum hanyalah sabda Rasul SAW.
Tidak ada hakim kecuali Allah, Tuhan semesta alam. Oleh sebab itu, kalangan
Asy’ariyah mengatakan bahwa hukum atas perbuatan para mukallaf sebelum
diangkatnya Rasulullah SAW (masa fatrah), atau tidak sampainya da’wah kepada
mereka, tidak ada hubungannya dengan Allh SWT. Maka saat itu kekufuran tidak
haram dan iman tidak diwajibkan. Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (الإسراء: 15)
Artinya: “Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Ada riwayat shahih yang menunjukan adanya siksa bagi para manusia yang hidup
dalam masa fatrah. Namun demikian riwayat ini tidak bertentangan dengan tidak
adanya siksa bagi orang-orang yang hidup pada masa fatrah. Atau riwayat ini
bisa diartikan bahwa adanya manusia yang mendapat dosa pada masa fatrah
disebabkan sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah dan RasulNya. Bisa pula
dijawab bahwa yang disiksa seperti tersebut dalam riwayat, hanya orang-orang
merubah atau mengganti dengan hal-hal yang tidak ditolelir, seperti menyembah
berhala dan mengganti syariat.
Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa akal adalah yang memutuskan wajib dan
haram. Singkat kata ia adalah al-Hakim secara independen. Apa yang dianggap
baik oleh akan adalah wajib, seperti mengenal Allah sebagai Tuhan, dan mengenal
diri sebagai hamba, kewajiban bersyukur kepada Allah, dan penyelamatan terhadap
korban banjir dan kebakaran. Apa yang dianggap akal jelek adalah haram secara
pasti, seperti kufur nikmat, perbuatan sia-sia dan perbuatan aniaya. Mereka
memposisikan akal diposisikan diatas posisi dalil-dalil syar’i, hingga mereka
tidak memperkenankan menetapkan hukum dengan dalil syar’i, selama akal tidak
mengetahuinya.
Ahlussunnah Wal Jamaah (Asya’irah) dan Mu’tazilah sependapat bahwa akal
akan mampu menemukan kebaikan dan kejelekannya sesuatu sebelum datangnya syariah.
Dalam masalah pahala dan siksa mereka berbeda pendapat. Mu’tazlilah mengatakan
bahwa pahala dan siksa menetapkan sesuatu. Maka akal menghukumi tentang adanya
pahala dan siksa sebelum datangnya syariah, disebabkan adanya kebaikan dan
keburkan sebelumnya. Jika syariah datang, maka ia menjadi penguat bagi
hukum akal. Sedangkan ulama sunni mengatakan bahwa pahala dan siksa tidak dapat
diketahui kecuali dari arah syariah.
Ada tiga madzhab dalam masalah ini. Yaitu: Pertama: Baik dan buruk sesuatu,
dan pahala dan siksa adalah syar’i. Ini adalah pendapat Asy’ariyah, Kedua:
kedua-duanya adalah aqliyah. Ini pendapat Kaum Mu’tazilah. Ketiga: kebaikan dan
keburukan suatu ditetapkan berdasar akal dan pahala dan siksa tergantung
syariah, tidak ada pahala dan siksa kecuali ketika akal sudah terbit. Inilah
sesuai dengan apa yang disampaikan As’ad bin az-Zanjani, dari kalangan
Syafi’iyyah, Abu Khathab dari kalangan Hanabilah, juga kalangan Hanafiyah dan
meriwayatkannya sebagai nash dari Imam Abu Hanifah.
2.2.
Akal Sebagai Penemu Hukum
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta hukum (al-Hakim) menurut
Jumhur ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari
dalil-dalil syariah maka posisi akal adalah sebagai penemu (al-Mudrik) hukum,
bukan sebagai pencetus hukum (al-Hakim). Jadi, yang benar adalah dikatakan
“Hukum syara’ ditemukan oleh akal”, tidak boleh dikatakan, “ilmu Syara’
diwajibkan akal”.
Yang menjadi sandaran dalam membatalkan kebaikan dan keburukan adalah tidak
adanya kewajiban menjaga maslahah dan mafsadah. Sebagai contoh adalah
penciptaan alam, apakah untuk maslahah atau tidak? Jika untuk maslahah, maka
Allah SWT telah melakukan pekerjaan maslahah sepanjang masa dan tiada batasnya.
Jika tidak untuk maslahah, maka pekerjaan Allah tidak wajib ditetapkan untuk
maslahah, dalam arti menjaga maslahah dunia bagi Allah bukan sesuatu yang
wajib. Jika sudah demikian maka tidak wajib berdasarkan akal, Allah akan
mengikat hukum-hukumNya di alam ini, tetapi hal ini adalah hal yang jaiz. Dari
sini maka kaidah tahsin (pembaikan) dan taqbih (pemburukan) menjadi batal,
sebab kewajiban mengikat hukum-hukum dengan maslahah dan mafsadah secara akal
adalah kebaikan dan keburukan itu sendiri yang bersifat aqli. Dari dasar (ashl)
ini, para sahabat membuat cabang dengan dua masalah:
Masalah pertama: Kewajiban bersyukur kepada Dzat yang memberi kenikmatan.
Syukur adalah memuji kepada Allah dengan mengingat-ingat kenikmatan dan
kebaikan Allah. Syukur adalah sesuatu yang baik secara pasti berdasarkan
pengetahuan akal. Adapun hukum wajib bersyukur adalah berdasarkan syara’ bukan
berdasar akal. Menurut ulama lain, syukur wajib secara akal, tetapi wajib dari
segi dalil, bukan dari segi pengetahuan akal yang pasti. Segolongan ulama dari
ashab Syafi’i, sepakat tentang hal ini seperti Abul Abbas bin Al-Qash, Abu
Bakar As-Syasyi, Abu Abdillah Az-Zubairi, Abul Hasan bin Qathan dan Abu Bakar
As-Shairafi.
Az-Zubairi mengatakan bahwa ibadah dilihat dari aspek dalil sam’i (al-Quran
dan Hadits) tidak didatangkan kecuali pada tiga aspek:
1.
Ibadah yang
didatangkan dengan pewajiban yang sama dengan apa yang diwajibkan berdasarkan
akal, seperti Iman kepada Allah dan mensyukuri nikmatNya.
2.
Datang
dengan pengharaman yang sama dengan apa yang diharamkan berdasarkan akal,
seperti kufur kepada Allah
3.
Ibadah
datang karena akal memperbolehkannya, seperti shalat, zakat dam haji
.
2.3. Perbedaan Pendapat Para Ulama
Hakikatnya, perbedaan merupakan anugerah Allah ‘Azza wa Jalla yang
diberikan kepada manusia. Dialah yang mengetahui rahasia di balik perbedaan
yang dikehendakiNya. Tak terkecuali ‘perbedaan pendapat’ yang menjadi
pembahasan bab ini. Dalam al-Qur`ân al-Karîm, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan sekiranya Rabbmu menghendaki, niscaya Dia menjadikan manusia ummat
yang satu, namun mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Dan
kalimat (keputusan) Rabbmu telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi
neraka jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Q.S. Hûd/11: 118-119)
Demikian pula rasûlullâh saw. pernah memaparkan kepada para shahabatnya,
dimana beliau mengisyaratkan akan banyaknya terjadi perbedaan pendapat. Beliau
bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian, agar kalian bertakwa pada Allah,
patuh dan taat sekalipun yang memerintah seorang budak sahaya. Sesungguhnya
siapa saja yang hidup (di kala aku sudah tiada), maka kalian akan menyaksikan
perbedaan pendapat yang sangat banyak….” (al Imâm an-Nawâwi, Syarhul
Arba’în an Nawâwiyyah, bab Wujûbu Luzûmis Sunnah, hal. 187).
Maka sangatlah wajar, apabila para ulama menyebutkan perbedaan pendapat itu
merupakan sunnatullâh atau sunnah rabbâniyyah, dimana kaum
muslimin tidak perlu menghindarinya. Bahkan sebaliknya dituntut untuk lebih
mengetahui akar persoalannya, terlebih-lebih dalam memahami permasalahan
agamanya.
Mengapa Terjadi Perbedaan?
Dalam memahami ajaran agama, sudah tentu tidak akan lepas dari persoalan
bagaimana seseorang memahaminya dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
Demikian halnya fiqih yang memiliki karakter ‘peluang memiliki perbedaan’ dimana
seorang ulama akan memiliki pemahaman sesuai dengan apa yang difahaminya dan
dia akan menyimpulkan dengan kesimpulan yang sesuai dengan standar ketetapan
yang diakuinya pula. Ini semua terjadi pada para imam madzhab, dimana mereka
menyimpulkan hukum sesuai dengan kriterianya masing-masing. Inilah yang membuat
kesimpulan hukum mereka yang berbeda-beda. (Lihat Syah Waliyullâh ad Dahlawi
dalam Al-Inshaf fî Bayâni Asbâbil Ikhtilâf dan Prof. DR. Ali Abdul Wahid
Wafi dalam Perkembangan Madzhab Islam (terj.) Rifyal Ka’bah M.A.)
Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan, sebenarnya para ulama
telah memberikan pendapat yang sangat luas, seperti yang telah dilukiskan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Raf’ul Malâm ‘Anil A`immatil
A’lâm (sebuah buku yang mengupas bagaimana sikap para ulama dalam menghadapi
perbedaan pendapat). Begitu pula kitab-kitab lainnya yang menerangkan
pembahasan yang sama, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan
pendapat itu diantaranya:
1.
Perbedaan
qirâ`at, yaitu perbedaan yang terjadi
dikarenakan beragamnya cara melafalkan ayat al-Qur`ân oleh para imam ahli
Qirâ`at.
2.
Perbedaan dalam
pengetahuan hadîts, yaitu perbedaan
yang terjadi karena tidak meratanya penyampaian hadits antara yang sudah
menerima, belum menerima, bahkan tidak menerima.
3.
Perbedaan dalam
menilai keshahîhan hadîts, yaitu perbedaan
yang disebabkan karena tidak sama dalam menilai cacat (jarh) dan adil (ta’dil)nya
seseorang yang meriwayatkan hadîts.
4.
Perbedaan dalam
menafsirkan teks (nash), yaitu perbedaan
yang terjadi dikarenakan pengambilan substansi tasyrî’ yang berbeda.
5.
Adanya lafazh
isytirâk, yaitu perbedaan yang disebabkan
karena lafazh yang mengandung makna lebih dari satu.
6.
Adanya dalil
kontradiktif, yaitu perbedaan dalam menilai
dalil yang kontradiktif antara yang mengukuhkan dan yang menganggap perlu
adanya tarjih dari dalil lain yang menguatkan.
7.
Perbedaan
qawâ’id ushûliyyah, yaitu perbedaan
qaidah-qaidah ushul masing-masing ulama yang tidak sama antara yang satu dengan
yang lainnya.
8.
Adanya
keterbatasan teks (nash), yaitu perbedaan
yang disebabkan karena tidak adanya nash dalam masalah tertentu sehingga
memunculkan pandangan lain seperti qiyâs dan lain-lainnya.
(Lihat Muhammad Abdul Ghafar Asy-Syarîf dalam Al-Furqah Bainal Muslimîn
Asbâbuhâ wa ‘Ilajuhâ dan DR. Ahmad Ala’ Da`bas dan Husain Abdul Majid Abul
A’la dalam Hidâyatul Anâm Lima’rifati Asbâbi Ikhtilâfis Shahâbât wal Fuqahâ`
fil Ahkâm)
Sumber lain menyebutkan, terjadinya perbedaan ini dikarenakan seorang ulama
lupa dalam membawakan hadîts, memahami hadîts tidak sebagaimana mestinya, tidak
mampu membedakan mana yang nâsikh dan mana yang mansûkh serta
berdalil dengan hadîts yang lemah. (Lihat Muhammad Shâlih al Utsaimîn dalam Al-Khilâf
Bainal ‘Ulamâ`).
2.4. Bolehnya Ikhtilâf dan Tercelanya Iftirâq serta Tanâzu’
Di samping ayat al-Qur`ân al-Karîm yang menyerukan kewajiban wajibnya
kembali kepada Allah dan rasul-Nya apabila terjadi perselisihan pendapat (Q.S.
An-Nisâ`/4:59), kaum muslimin pun diwanti-wantikan untuk memperhatikan larangan
berbantah-bantahan (tanâzu’) (Q.S. Al-Anfâl/8: 46) dan berpecah setelah
datangnya keterangan yang jelas (tafarraqû min ba’di mâ jâ`ahumul bayyinât) (Q.S.
Ali Imrân/3: 105)
Semuanya itu merupakan rambu-rambu yang mengatur perjalanan ikhtilâf agar
tidak terjadi tanâzu’ dan iftirâq yang diakibatkan karena keterlibatan
hawa nafsu yang dapat melahirkan fanatisme. Dalam hal ini Muhammad Rasyid Ridha
berkomentar: sebab-sebab perpecahan kaum muslimin ada empat, yaitu:
disebabkan sengketa politik dan kekuasaan (as-siyâsah wat tanâzu’ ‘alal
muluk), fanatik ras dan keturunan (‘ashâbiyyatul jins wan nasab), fanatik
madzhab baik dalam hal ushûl maupun furû’ (‘ashâbiyyatul
madzâhib fil ushûl wal furû’) dan berkomentar tentang urusan agama dengan
mengandalkan akal semata (al qaulu fid dîni birra`yî). Lalu beliau
menambahkan, propaganda musuh Allah tak kalah pentingnya dalam merobohkan
keutuhan kaum muslimin (dasâisu min a’dâi hâdzad dîni wa kaiduhum) (Al Manâr
VIII/217 dalam At Tibyân fî Ma’nal Jamâ’ah was Syahâdah wal Bai’at wal
Khilâfah karya H.A. Zakaria al Kurkhi hal. 26 dan DR. Nashir Abdul Karîm al
Aql dalam Al Iftirâq Mafhûmuhu Ashbâbuhu: Subulul Wiqâyati fîhi).
Untuk mendapatkan fakta yang akurat, bagaimana rasûlullâh saw. sangat
menghargai ikhtilâf, nampak jelas sikapnya ketika menyikapi perselisihan
shahabat dalam kasus larangan shalat sebelum sampai di perbatasan Bani
Quraizhah pada waktu perang Ahzâb. Rasûlullâh saw. berkata: “Janganlah
kalian menunaikan shalat ‘ashar sebelum sampai di perbatasan Bani Quraizhah.” Ternyata
hingga matahari terbenam, kaum muslimin belum juga sampai di Bani Quraizhah.
Akhirnya, sebagian mereka shalat di jalan dan sebagian yang lain tidak. Namun
rasûlullâhh h saw. tidak menyalahkan keduanya. Golongan pertama berpegang
kepada ‘ibaratun nash’ dan golongan yang kedua beristinbath dari nash
yang khusus.
Adapun pelajaran yang dapat diambil dari sikap rasûlullâh saw. adalah :
selama perbedaan pendapat (ikhtilâf) itu dalam rangka ijtihad yang
sehat, maka orang boleh mengikuti salah satu pendapat itu. Yang jelas, kedua
pendapat itu didorong oleh rasa keimanan, ketakwaan dan keridhaan-Nya. (DR.
Thaha Jabir Fayyadh al ‘Ulwani dalam Adâbul Ikhtilâf fil Islâm (terj.)
hal. 34)
Tanpa bermaksud menjadikan hadîts dha’îf ‘ikhtilâfu ummati rahmatun’ sebagai
hujjah agama, semoga rahmat Allah ‘Azza wa Jalla tetap turun kepada
hamba-hamba-Nya dan kita lebih pandai mengambil pelajaran dari sikap para ulama
dalam menyikapi perbedaan dan perselisihan pendapat.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Yang Jelas Hukum untuk para mukallaf adalah milik
Allah. Mayoritas ulama Ahlussunnah Waljmaah mengatakan hal ini. Sedangkan
pendapat kalangan Mu’tazilah tentang posisi akal yang seakan mengalahkan firman
Allah, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan nash-nash al-Quran dan Hadits,
bahkan walaupun mereka lebih mengandalkan perhitungan akal dalam setiap
langkah, tetapi ketika pendapat mereka dipertanggung jawabkan secara akal,
justeru pendapat mereka menjadi lemah dan mudah untuk dipatahkan. Walaupun
demikian keberadaan kaum mu’tazilah menjadi sebuah kemajuan intelektual bagi
ahlussunnah waljamaah, yaitu sebagai tonggak munculnya ilmu kalam, untuk
mempertahankan aqidah dari serangan pemikiran yang lebih mengutamakan akal.
Meskipun akal bukan sebagai pemutus hukum, bukan
berarti syariah membatasi ruang gerak akal. Sesuai dengan prinsip hukum yang
lebih mengedepankan posisi akal bagi pribadi para mukallaf, kebanyakan produk
hukumnya mensyaratkan fungsi akal bagi objeknya. Dalam masalah istimbat hukum,
akal menjadi salah satu sumber hukum. Sesuai dengan uraian dalam makalah ini,
sumber hukum akal seakan menjadi alternatif kedua saat ketidak adaan dalil yang
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Fungsi akal dalam menentukan hukum adalah sebagai
penemu dan pemaham atas suatu masalah yang akan dicarikan hukumnya, bukan
sebagai penentu hukum. Maka apa yang dianggap baik oleh akal dan diamini oleh
syariah, maka baik juga menurut syariah. Syariah datang sama sekali tidak
bertentangan dengan akal. Wallahu A’lam…..
3.2.
Saran
Saya
sebagai penyusun makalah ini mengharapkan masukan dari pembaca agar dalam
penyusunan makalah ini kedepannya lebih
baik lagi serta peran keaktifan mahasiswa dalam penyampaian makalah ini
sangatlah di perlukan. Masukan berupa saran, kritikan, dankoreksi, koreksi
mengenai makalah ini saya tunggu. Penyusun juga mengharapkan melalui makalah
ini baik penulis.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Ahmad, “Al-Mushtashfa”,
pada Software Gamee Fiqh ver.1.0, Kairo: Harf, 1988
Ø Al-Mawardi, Ali
bin Muhammad bin Habib, Adab al-dunya waddin, pada Software Gamee Fiqh
ver.1.0, Kairo: Harf, 1988
Ø Az-Zarkasyi, Badruddin bin Muhammad Bahadur, Al-Bahrul
Muhith, pada Software Gamee Fiqh ver.1.0, Kairo: Harf, 1988
Ø Rahmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV
Pustaka Setia, 1998
Posting Komentar untuk "Makalah Memposisikan Akal Sebagai Hakim"