BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Landasan syari’ah perbankan
syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat, khususnya menyangkut hukum
perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan landasan bagi
operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’) dengan
berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-musyarakah), bagi
hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-qard), pemindahan
hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian kuasa
(perwakilan, al-wakalah).
Bentuk-bentuk akad jual-beli yang telah
dibahas para ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang sangat banyak. Jumlahnya
bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian
banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak dikembangkan sebagai
sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan
syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’ al-istisna. Dan
secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan margin
keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang di Maksud dengan
Perbankan Syariah?
2. Apa saja produk-produk dari perbankan syariah?
2. Apa saja produk-produk dari perbankan syariah?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar Mengetahui Maksud dari
Perbankan Syariah.
2. Untuk Memberi Tahu
tentang Produk dari Perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Perbankan Syariah
Pengertian
bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur
Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan
istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk
sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan
syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank
Syari'ah mempunyai pengertian yang sama.Kegiatan perbankan baru dimulai dari
zaman Babylonia kemudain dilanjutkan ke zaman Yunani kuno dan Romawi. Namun,
pada saat itu tugas utama bank hanyalah sebagai tempat tukar menukar uang.
Seiring dengan perkembangan
zaman perdagangan dunia, perkembangan perbankanpun semakin pesat karena
perkembangan dunia perbankan tidak terlepas dari perkembangan perdagangan.
Perkembangan perdagangan semula hanya di daratan Eropa akhirnya menyebar ke
Asia Barat. Bank-bank yang sudag terkenal pada saat itu di benua Eropa adalah
Bank Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of Barcelona
tahun 1320. Sebaliknya perkembangan erbankan di daratan Inggris daru dimulai
pada abad ke-16. Namun karena Inggris yang begitu aktif mencari daerah
perdagangan yang kemudian dijajah, maka perkembangan perbankan pun ikut dibawa
ke negara jajahan.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindi-Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang memegang peranaan penting di Hindia-Belanda.
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Rintisan perbankan syariah mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah yaitu, Bank Konvensional menerapkan sistem Riba sedangkan Bank Syariah menerapkan sistem bagi hasil, pada Bank Syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah sedangkan pada Bank Konvensional tidak ada.Di Indonesia wacana pendirian bank Islam baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, 22-25 agustus 1990.Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja tersebut disebut Tim Perbankan MUI.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindi-Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang memegang peranaan penting di Hindia-Belanda.
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Rintisan perbankan syariah mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah yaitu, Bank Konvensional menerapkan sistem Riba sedangkan Bank Syariah menerapkan sistem bagi hasil, pada Bank Syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah sedangkan pada Bank Konvensional tidak ada.Di Indonesia wacana pendirian bank Islam baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, 22-25 agustus 1990.Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja tersebut disebut Tim Perbankan MUI.
Hasil kerja Tim Perbankan
MUI adalah lahirnya Bank Muamalat Indonesia, pada awal pendiriannya keberadaan
bank syariah belum mendapat perhatian yang optimal dalam industri
perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menghunakan sistm syariah
ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”; tidak terdapat
rincian landasan hukumnya serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan, hal ini
sangat tercermin dari UU no.7 tahun 1992.Perkembangan perbankan syariah pada
era reformasi ditandai dengan disetujuinya undang-undang no.10 tahun 1998.
Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta
jenis-jenis usaha yang dapat dioperisakan dan diimplememtasikan oleh bank
syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvansionel
untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi
bank syariah.Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia,
yang berdiri pada tanggal 1 November 1991 dan mulai beroperasi tanggal 1 Mei
1992. Dalam perkembangannya hingga Maret 2013 BMI sudah memiliki 79 kantor
cabang, 158 kantor cabang pembantu, 121 kantor kas yang tersebar di seluruh
Indonesia.
2.2. Produk Perbankan Syariah
2.2.1. Bai’ al-Murabahah
dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang dicampurbaurkan satu
sama lain atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan hanya sekedar sinonim,
yaitu bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Di Indonesia
digunakan istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Kedua istilah ini
dibedakan di mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli
berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran dibelakang
sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan
harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran di belakang juga,
tetapi secara mencicil dan tidak sekaligus.Kedua macam transaksi tersebut
disebut dengan nama bai’ al-muajjal (jual beli dengan pembayaran di belakang),
sehingga dengan demikian bai’ al-muajjal mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi
saman ajil. Hal ini karena kedua jenis pembiayaan tersebut, menurut yang
berlaku di Indonesia, pembayarannya di belakang. Perbedaannya hanya pada secara
sekaligus atau mencicil. Jadi, bai’ bi saman ajil merupakan second
derivation/pengembangan dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu
pembayarannya.Akad bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama) dengan akad
Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan karenanya
pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run
financing).Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk
pada dasar hukum jual-beli :
” وأحل اللة البيع وحرم الربا”
” وأحل اللة البيع وحرم الربا”
Dalam hadis Rasulullah juga
ditegaskan :
” ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع “
Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini ditandatangani oleh DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap anggota), KH. Ali Yafie (anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota), Prof. KH. Ibrahim Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab (anggota). Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil.Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek perbankan, yaitu:
Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
Pembeli
(al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
Barang
yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan) harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah. Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.
2.2.2. Bai’ as-Salam
Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan) harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah. Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.
2.2.2. Bai’ as-Salam
Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan
pembayaran dilakukan di muka.
Landasan syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah
1. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.
2. “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan
dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu
yang diketahui”.
3. Berkata Ibn Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya ketahui telah
berkonsensus keabsahan al-salam karena kebutuhan manusia terhadapnya.
Pelaksanaan bai’ al-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini
:
a) Muslam atau pembeli;
a) Muslam atau pembeli;
b)
Muslam ilaih atau penjual;
c)
Modal atau uang;
d)
Muslam fih atau barang;
e)
Sighat atau ucapan.
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-salam juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dan yang
terpenting adalah tentang modal dan barang. Syarat-syarat yang harus terpenuhi
dalam modal bai’ al-salam adalah barang yang akan disuplai harus diketahui
jenis, kualitas dan jumlahnya dan pembayaran harus dilakukan di tempat
kontrak.Sedangkan di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muslam fih
atau barang yang ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat diketahui
sebagai utang, harus bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan dilakukan
di kemudian hari, tempat penyerahan barang harus disepakati, dan sebagainya.
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani
dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga dapat
diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian
jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam juga bisa
terjadi secara pararel, yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank dan
nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya
secara simultan.Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari
nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
2.2.3. Bai’ al-Istishna’
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi
yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak
bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan di
muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan
datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan Hanbaliah–, bai’
al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ al-salam. Biasanya,
jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Produk-produk bank syariah adalah
funding yang terdiri dari akad wadiah dan mudhorobah. Financing terdiri dari
pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsmtif. Produk
jasa terdiri dari Wakalah, Kafalah, dan Hawalah. Pada
dasarnya prinsip dasar pada produk-produk perbankan syariah adalah terbagi
kedalam prinsip simpanan yang biasa disebut dengan prinsip wadiah, prinsip bagi
hasil (profit sharing) yang terbagi atas prinsip mudharabah dan murabahah. Dan
prinsip murabahah. Produk perbankan syariah secara garis besar terdiri atas produk
penghimpun dana, produk penyaluran dana dan jasa perbankan.
Setidaknya ada tiga karakteristik
produk perbankan syariah yang membedakanya dengan produk bank konvensional.
Petama, adalah akadnya. Semua transaksi dalam perbankan syariah harus dilandasi
dengan akad. Kedua, adalah pada imbalan yang diberiakan. Pada perbankan syariah
menggunakan prinsip bagi hasil bukan bunga. Karakeristik ketiga adalah pada
sasara kredit atau pembiayaan. Pada perbankan syariah pembiayaan harus pada
kegiatan yang sesuai dengan syariat islam.
3.2 Saran
Sebagai manusia yang menjadi tempat salah dan khilaf, penulis sangat
menyadari bahwa tanpa disadari tentu saja banyak kesalahan yang disengaja
maupun tidak disengaja dan menyadari pula bahwa peper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini serta peper yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Heri Sudarsono, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskriptip
dan Ilustratip), Yogyakarta, Penerbit Ekonisia
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March 28, 2008
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March 28, 2008
http://hukumonline.com//Perbankan&keuangan-bank-syariah, oleh
mahawisnu alam/ 22 april2008
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah
Posting Komentar untuk "Makalah Perbankan Syariah"