Makalah Perbankan Syariah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Landasan syari’ah perbankan syari’ah adalah ketentuan-ketentuan hukum mu’amalat, khususnya menyangkut hukum perjanjian (akad). Ada sejumlah akad yang dijadikan landasan bagi operasionalisasi perbankan syari’ah, seperti jual-beli (al-bai’) dengan berbagai jenisnya, sewa-menyewa (al-ijarah), perkonsian (al-musyarakah), bagi hasil (al-mudarabah), gadai (al-rahn), hutang-piutang (al-qard), pemindahan hutang (al-hiwalah), penanggungan hutang (al-kafalah), dan pemberian kuasa (perwakilan, al-wakalah).
 Bentuk-bentuk akad jual-beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih mu’amalah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual-beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syari’ah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’ al-istisna. Dan secara khusus, produk yang dihasilkan dari sistem jual-beli dan margin keuntungan adalah bai’ al-murabahah dan al-bai’ bi saman ajil.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang di Maksud dengan Perbankan Syariah?
2. Apa saja produk-produk dari perbankan syariah?

C. Tujuan Penulisan
1. Agar Mengetahui Maksud dari Perbankan Syariah.
2. Untuk Memberi Tahu  tentang Produk dari Perbankan Syariah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Perbankan Syariah
                  Pengertian bank menurut UU No 7 tahun 1992 adalah badan usaha yang menghimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Istilah Bank dalam literatur Islam tidak dikenal. Suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat, dalam literature islam dikenal dengan istilah baitul mal atau baitul tamwil. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Islam adalah Bank Syari'ah. Secara akademik istilah Islam dan syariah berbeda, namun secara teknis untuk penyebutan bank Islam dan Bank Syari'ah mempunyai pengertian yang sama.Kegiatan perbankan baru dimulai dari zaman Babylonia kemudain dilanjutkan ke zaman Yunani kuno dan Romawi. Namun, pada saat itu tugas utama bank hanyalah sebagai tempat tukar menukar uang.
Seiring dengan perkembangan zaman perdagangan dunia, perkembangan perbankanpun semakin pesat karena perkembangan dunia perbankan tidak terlepas dari perkembangan perdagangan. Perkembangan perdagangan semula hanya di daratan Eropa akhirnya menyebar ke Asia Barat. Bank-bank yang sudag terkenal pada saat itu di benua Eropa adalah Bank Venesia tahun 1171, kemudian menyusul Bank of Genoa dan Bank of Barcelona tahun 1320. Sebaliknya perkembangan erbankan di daratan Inggris daru dimulai pada abad ke-16. Namun karena Inggris yang begitu aktif mencari daerah perdagangan yang kemudian dijajah, maka perkembangan perbankan pun ikut dibawa ke negara jajahan.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindi-Belanda. Pada saat itu terdapat beberapa bank yang memegang peranaan penting di Hindia-Belanda.
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Rintisan perbankan syariah mulai mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di pedesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi Islam.Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah yaitu, Bank Konvensional menerapkan sistem Riba sedangkan Bank Syariah menerapkan sistem bagi hasil, pada Bank Syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah sedangkan pada Bank Konvensional tidak ada.Di Indonesia wacana pendirian bank Islam baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada musyawarah nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, 22-25 agustus 1990.Berdasarkan amanat Munas IV MUI, dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja tersebut disebut Tim Perbankan MUI.
Hasil kerja Tim Perbankan MUI adalah lahirnya Bank Muamalat Indonesia, pada awal pendiriannya keberadaan  bank syariah belum mendapat perhatian yang optimal dalam industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menghunakan sistm syariah ini hanya dikategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”; tidak terdapat rincian landasan hukumnya serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan, hal ini sangat tercermin dari UU no.7 tahun 1992.Perkembangan perbankan syariah pada era reformasi ditandai dengan disetujuinya undang-undang no.10 tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperisakan dan diimplememtasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvansionel untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia, yang berdiri pada tanggal 1 November 1991 dan mulai beroperasi tanggal 1 Mei 1992. Dalam perkembangannya hingga Maret 2013 BMI sudah memiliki 79 kantor cabang, 158 kantor cabang pembantu, 121 kantor kas yang tersebar di seluruh Indonesia.

2.2. Produk Perbankan Syariah
2.2.1. Bai’ al-Murabahah dan Bai’ bi Saman Ajil
Terdapat beberapa istilah yang kadang-kadang dicampurbaurkan satu sama lain atau bahkan dikacaukan pemakaiannya dan bukan hanya sekedar sinonim, yaitu bai’ al-muajjal, bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Di Indonesia digunakan istilah bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Kedua istilah ini dibedakan di mana yang pertama dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran dibelakang sekaligus. Sedangkan yang kedua dimaksudkan pembiayaan dalam bentuk jual-beli berdasarkan harga pokok ditambah margin keuntungan dengan pembayaran di belakang juga, tetapi secara mencicil dan tidak sekaligus.Kedua macam transaksi tersebut disebut dengan nama bai’ al-muajjal (jual beli dengan pembayaran di belakang), sehingga dengan demikian bai’ al-muajjal mencakup bai’ al-murabahah dan bai’ bi saman ajil. Hal ini karena kedua jenis pembiayaan tersebut, menurut yang berlaku di Indonesia, pembayarannya di belakang. Perbedaannya hanya pada secara sekaligus atau mencicil. Jadi, bai’ bi saman ajil merupakan second derivation/pengembangan dari murabahah. Hal ini tampak jelas dari unsur waktu pembayarannya.Akad  bai’ al-murabahah juga mirip (tidak sama) dengan akad Kredit Modal Kerja yang biasa diberikan oleh bank konvensional, dan karenanya pembiayaan al-murabahah berjangka waktu di bawah satu tahun (short run financing).Dasar hukum yang dijadikan sebagai landasan murabahah adalah merujuk pada dasar hukum jual-beli :
وأحل اللة البيع وحرم الربا
Dalam hadis Rasulullah juga ditegaskan :
ثلاث فيهن البركة: البيع إلى أجل والمقارضة وخلط البر بالشعير للبيت لا للبيع

            Operasionalisasi produk ini di Indonesia didasarkan atas fatwa DPS BMI No. BMI-16/FAT-DPS/XI/96 tentang pembiayaan murabahah, tertanggal 27 Nopember 1996 M atau bertepatan 16 Rajab 1417 H. Fatwa ini ditandatangani oleh DPS BMI, terdiri atas KH. Hasan Basri (ketua merangkap anggota), KH. Ali Yafie (anggota), Drs. KH. Ahmad Azhar Basyir, MA. (anggota), Prof. KH. Ibrahim Hossen (anggota) dan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab (anggota). Pertimbangan ekonomis yang dipakai adalah bahwa masyarakat pengusaha banyak yang memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual-beli untuk mendukung modal kerja yang diperlukan guna melangsungkan dan meningkatkan produksi. Adapun pertimbangan legal-yuridisnya adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil.Secara teknis, akad bai’ al-murabahah tersebut terlaksana dengan kedatangan nasabah ke bank syari’ah dan mengajukan permohonan Pembiayaan al-Murabahah untuk pembelian suatu barang dan menyatakan kesanggupan untuk membeli barang tersebut. Setelah melihat kelayakan nasabah untuk menerima fasilitas pembiayaan tersebut, maka bank menyetujui permohonannya. Bank kemudian membelikan atau menunjuk nasabah sebagai agen bank untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama bank dan menyelesaikan pembayaran harga barang dari biaya bank. Bank seketika itu juga menjual barang tersebut kepada nasabah pada tingkat harga yang disetujui bersama (yang terdiri dari harga pembelian ditambah mark-up atau margin keuntungan) untuk dibayar dalam jangka waktu yang telah disetujui bersama. Dan pada waktu jatuh tempo, nasabah membayar harga jual barang yang telah disetujui tersebut kepada bank.
Adapun rukun bai’ al-murabahah di dalam perbankan sama dengan rukun jual-beli dalam kitab fiqih dan hanya dianalogkan dalam praktek perbankan, yaitu:
Penjual (al-bai’) dianalogkan sebagai bank;
Pembeli (al-musytari) dianalogkan sebagai nasabah;
Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan;
Harga (al-saman) dianalogkan sebagai pricing atau plafond pembiayaan;
            Ijab dan qabul dianalogkan sebagai akad atau perjanjian, yaitu pernyataan persetujuan yang dituangkan dalam akad perjanjian.Sedangkan syarat-syaratnya disesuaikan dengan kebijakan bank syari’ah yang bersangkutan, yang pada umumnya persyaratan menyangkut barang yang diperjual-belikan, harga dan ijab-qabul.Bai’ al-murabahah dapat dilakukan secara pemesanan dengan cara janji untuk melakukan pembelian (al-wa’d bi al-bai’). Janji pemesan untuk membeli barang dalam bai’ al-murabahah bisa merupakan janji yang mengikat, bisa juga tidak. Para ulama klasik bersepakat bahwa pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan itu disertai alasan secara rinci mengenai pelarangan tersebut. Akan tetapi beberapa ulama kontemporer berpendapat bahwa janji untuk membeli barang tersebut bisa mengikat pemesan. Hal ini demi menghindari “kemadharatan”. Terlebih lagi bila nasabah bisa “pergi” begitu saja akan sangat merugikan pihak bank atau penyedia barang.Dalam hal ini, pembeli dibolehkan meminta pemesan membayar uang muka atau tanda jadi (arboun dalam istilah beberapa bank Islam) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Uang muka adalah jumlah yang dibayar oleh pemesan yang menunjukkan bahwa ia bersungguh-sungguh atas pesanannya tersebut. Adapun uang muka akan diperhitungkan sesuai besar kerugian aktual pembeli. Bila kemudian pemesan menolak untuk membeli aset tersebut, biaya riil pembeli harus dibayar dari uang muka. Bila nilai uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus ditanggung pembeli, pembeli dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada pemesan. Sedangkan bila uang muka melebihi kerugian, pembeli (penerima pesanan) harus mengembalikan kelebihan itu kepada pemesanUntuk menjaga agar pemesan tidak main-main dengan pesanan maka diperbolehkan meminta jaminan. Si pembeli (penyedia pembiayaan/bank) dapat meminta pemesan (pemohon/nasabah) suatu jaminan (rahn) untuk dipegangnya. Dalam teknis operasionalnya, barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.Murabahah dengan pemesanan umumnya dapat diterapkan pada produk pembiayaan untuk pembelian barang-barang investasi, baik domestik maupun luar negeri, seperti melalui letter of credit (L/C). Skema ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa bertransaksi dengan dunia perbankan pada umumnya. Kalangan perbankan syari’ah di Indonesia banyak menggunakan al-murabahah secara berkelanjutan (roll over/evergreen) seperti untuk modal kerja. Padahal sebenarnya, al-murabahah adalah kontrak jangka pendek dengan sekali akad (one short deal). Al-murabahah tidak tepat diterapkan untuk skema modal kerja. Tetapi mudarabah lebih sesuai untuk skema tersebut. Hal ini mengingat prinsip mudarabah memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai’ al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi. Bai’ al-murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syari’ah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai’ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syari’ah. Di antara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain adalah default atau kelalaian, fluktuasi harga komparatif, penolakan nasabah, dijual nasabah.
2.2.2. Bai’ as-Salam
Adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.
Landasan syari’ah transaksi bai’ al-salam adalah
1. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”.
2. “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
3. Berkata Ibn Mudhir bahwa semua pakar ilmu yang saya ketahui telah berkonsensus keabsahan al-salam karena kebutuhan manusia terhadapnya.
Pelaksanaan bai’ al-salam harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini :
a)      Muslam atau pembeli;
b)      Muslam ilaih atau penjual;
c)      Modal atau uang;
d)      Muslam fih atau barang;
e)      Sighat atau ucapan.
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-salam juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Dan yang terpenting adalah tentang modal dan barang. Syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam modal bai’ al-salam adalah barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas dan jumlahnya dan pembayaran harus dilakukan di tempat kontrak.Sedangkan di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam muslam fih atau barang yang ditransaksikan adalah harus spesifik dan dapat diketahui sebagai utang, harus bisa diidentifikasikan secara jelas, penyerahan dilakukan di kemudian hari, tempat penyerahan barang harus disepakati, dan sebagainya.
Bai al-salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Bai’ al-salam juga bisa terjadi secara pararel, yaitu melaksanakan dua transaksi antara bank dan nasabah, dan antara bank dan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.Manfaat bai’al-salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.

2.2.3. Bai’ al-Istishna’
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut jumhur fuqaha –Malikiah, Syi’ah dan Hanbaliah–, bai’ al-istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad bai’ al-salam. Biasanya, jenis ini dipergunakan di bidang manufaktur.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Produk-produk bank syariah adalah funding yang terdiri dari akad wadiah dan mudhorobah. Financing terdiri dari pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi, dan pembiayaan konsmtif. Produk jasa terdiri dari Wakalah, Kafalah, dan Hawalah. Pada dasarnya prinsip dasar pada produk-produk perbankan syariah adalah terbagi kedalam prinsip simpanan yang biasa disebut dengan prinsip wadiah, prinsip bagi hasil (profit sharing) yang terbagi atas prinsip mudharabah dan murabahah. Dan prinsip murabahah. Produk perbankan syariah secara garis besar terdiri atas produk penghimpun dana, produk penyaluran dana dan jasa perbankan.
Setidaknya ada tiga karakteristik produk perbankan syariah yang membedakanya dengan produk bank konvensional. Petama, adalah akadnya. Semua transaksi dalam perbankan syariah harus dilandasi dengan akad. Kedua, adalah pada imbalan yang diberiakan. Pada perbankan syariah menggunakan prinsip bagi hasil bukan bunga. Karakeristik ketiga adalah pada sasara kredit atau pembiayaan. Pada perbankan syariah pembiayaan harus pada kegiatan yang sesuai dengan syariat islam.

3.2   Saran
Sebagai manusia yang menjadi tempat salah dan khilaf, penulis sangat menyadari bahwa tanpa disadari tentu saja banyak kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja dan menyadari pula bahwa peper ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini serta peper yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Heri Sudarsono, 2005, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Deskriptip dan Ilustratip), Yogyakarta, Penerbit Ekonisia
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
http://suherilbs.files.wordpress.com/2007/12/dampak-pengembangan-sukuk-terhadap-perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia.doc
http://Blogdetik.com/produk-syariah/sannicommunity/March 28, 2008
http://hukumonline.com//Perbankan&keuangan-bank-syariah, oleh mahawisnu alam/ 22 april2008
http://sinarharapan.com//prinsip-dasar-perbankan-syariah

Posting Komentar untuk "Makalah Perbankan Syariah"